Kan Kan Bener




    Kalian pernah nggak sih, kayak nebak-nebak di dalam hati, eh nggak tahunya kejadian beneran? Aku sering banget gitu, dulu sewaktu ngekos pas banget cuacanya dingin, hujannya awet, mana deras pula. Mau cari makan keluar tapi mager, kalau nge-gojekin kasihan sama abang ojolnya. Aku coba cari-cari stok makanan di bawah meja, ternyata ada mie instan yang sudah lama aku anggur-in berbulan-bulan, sisa satu-satunya pula, dan mujurnya masih ada sisa satu telur. Double kill nggak tuh.

    Aku masak mienya pakai magicom, ku masukanlah mie sedap rasa soto ke dalam air yang mendidih, ku siapkan juga bumbunya di mangkok, nah ini part yang ditunggu-tunggu, masukan telurnya belakangan, soalnya aku team telur setengah matang. Aku dah ada firasat ni telur bakalan busuk, lalu dengan percaya diri, ku pecahkkan lah ini telur, begitu terpecah ada bau semerbak keluar menyelimuti satu ruangan, alamak sial bener mana tinggal satu-satunya malah busuk. Memang ya berharap pada sesuatu adalah seni paling mudah untuk menderita.

    Baru-baru ini kejadian lagi hal serupa, keadaan perut udah bunyi-bunyi, coba masak yang singkat aja deh, namanya nasi mentega, nanti tambah telur di orak-arik. Bau nasinya enak banget, mana pake daun jeruk lagi, tinggal sentuhan terakhir aja tambahkan telur, ketika mau ambil telurnya ada terbesit perasaan gelisah di dalam dada yang mengatakan nggak mungkinkan kalau ini terlurnya busuk. Dengan optimisnya aku memecahkan telur langsung di atas nasinya, ternyata firasatku benar. Jadi orang perasa tuh gini, ketika tebakannya benar, ada perasaan kan kan bener di dalam dada. Kayak senang karena tebakan benar, di sisi lain juga berfikir, kenapa nggak ikuti feeling aja sih. 

    Aku nggak langsung nyerah dong, aku bikin lagi stepnya dari awal, tinggal nambahkan telurnya aja ni, sebelum dipecah aku senter-in dulu, oh aman dalam hatiku. Begitu dipecah, sama aja zonknya. Memang kita nggak bisa menilai sesuatu dari sudut pandang satu arah, kita nggak pernah tahu dalamnya seperti apa, contohnya telur ini.

    Manusia itu makhluk yang sempurna, dibekali dengan yang namanya feeling, dikawal dengan yang namanya insting, dikuatkan dengan yang namanya intuisi. Beh beh cakep bener kalimatku. Aku pernah mengalami beruntung banget punya intuisi yang kuat. Suatu pagi aku ngerasa males banget kuliah, waktu udah menunjukan pukul 8.30 sedangkan ada perkuliahan tepat jam 9.00, aku nggak panik, nggak bangkit juga dari kasur, intinya today I don't feel like doing anything, I just want lay in my bad. Intinya aku malas aja.

    Notif Line tiba-tiba masuk beruntun, dah rame aja ni grup teori. Ku baca dengan setengah sadar, ternyata dosennya nggak masuk. Kan kan bener, ku lanjutkan aja tiduran, karena hari itu mata kuliahnya cuman satu. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Aku percaya, dibalik banyaknya kesialan yang terjadi di kehidupanku, masih ada stok untuk keberuntungan.

    Mau contoh lagi? Di akhir semester, aku mau melengkapi jumlah SKS-ku, jadi orang pada skripsian, aku masih ada ambil matkul tambahan, dan tahu apa matkulnya; Sintesis kimia. Udahnya sintesis, kimia pula. Panik nggak? panik nggak? paniklah masa enggak. Dosennya adalah dosen PA ku, at least dia hapal anak bimbingnya. 

    Aku pernah sekali nggak masuk mata kuliah yang beliau ampu ini, minggu depannya aku ditanya. "Bunga, minggu kemarin kenapa nggak masuk?". Ekspresiku cuman bisa bengong, sambil nginget minggu lalu aku ke mana ya kok nggak masuk. Aku tanya sama Ana yang duduk di sebelahku "Na, aku nggak masuk kenapa?". Tapi Ana jawabnya kurang ramah "Lah, kan aku juga nggak masuk Bung, kita kan bolos bareng". Seketika ingatan itu menyeruak, benar juga kata Ana. 

Ini namanya Ana, minta di panggil "Peri"
Solo/Juni/2019

    Mata kuliah sintesis kimia ini susah-susah gampang, susahnya karena emang susah, gampangnya karena ada Ana. Sek sek, bukan karena Ana masternya matkul sintesis kimia, tapi di kelas itu cuman Ana yang bisa diajak colaborasi, demi kesejahteraan bersama, tanpa sikut sana sini. Pernah suatu waktu kami diberi tugas, aku ingat banget itu hari jumat, sedangkan tugasnya dikumpul hari sabtu.

    Kami diminta untuk cari jurnal, dan disuruh review beserta rumus bangun yang disintesiskan, dan nggak boleh sama judulnya. Death line yang semakin dekat memaksaku untuk menyeludupkan Ana ke dalam kos, padahal kan kalau ketahuan mba Lilis bahaya, disuruh bayar 35K/malam. Mending buat makan uangnya. Ana pun akhirnya bisa ku seludupkan, Ana sudah kayak barang haram aja, pake diseludupkan segala. Kami tahu benar mepet dead line, eh malah mukbang dulu makan sate. 

    Abang penjual satenya nih rada aneh, dia mangkalnya di sebelah kostku, bukan di situ letak anehnya, kenehannya adalah dia jualan di samping tempat sampah, dan wahnya rasa satenya enak, entah ini strategi pesugihan, atau emang abangnya nyaman aja gitu mepet-mepet sampah. Karena memiliki penyakit maag yang kronis, otomatis asam lambungku lebih asam, jadi mau bakteri kek apa wujudnya pasti mati. Nggak logis emang, tapi ya gimana, ini sugesti biar pas makan sate nggak kebayang-banyang sampah disebelah mamang satenya.

    Habis makan, aku cari jurnal. Udah nemu jurnalnya, tinggal di review, tapi mataku ini nggak bisa diajak bersahabat. Yap, benar aku mengantuk. Ngantuknya tuh bukan nguap-ngupa aja, ini udah ke taraf begitu merem langsung beda alam. Suara ngebass Ana membangunkanku, dia bilang "Bung, kamu nggak review kah?" Sambil ku lihat dia sedang menyiapkan mental untuk perang, tangan kanannya memegang pulpen, tangan kirinya ngapain ya? lupa aku Na, nggak penting

    Sambil sayup-sayup ku jawab "Nanti Na, jam 12 malam aku bangun mau kerjakan, ini kan masih jam 11, aku pasang alarm nih, kalau nggak bangun, bangunin aku ya". Ana pun membalas "Blegedes, malah tidur, yaa yaa entar ku bangunin". Habistu aku dah nggak tahu kronologinya kayak apa, aku tidur mati. Alarmku pun berbunyi tepat jam 12 malam, aku ambil hape kemudian ku matikan alarmnya.

    "Woy" kata Ana membangunkanku, "Ih Na, aku nggak sanggup, ngantuk banget ini, besok pagi ajalah ku kerjakan, kan masuk jam 10, masih sempat aja kok" Aku lanjut tidur. Karena kepanasan aku terbangun, dan melihat Ana masih diposisi semula, dia duduk menyender dinding, mendengarkan lagu korea volume kecil, dan melihat ke arahku. 

    "Na, jam berapa ini kamu belum tidur?" Tanyaku, sambil mengambil hape yang berada tepat di sebelahku. "Astaga Na, jam 2 malam, yasudah Na kamu lanjutin aja, aku mau tidur lagi" Ana hanya menatapku heran. Aku juga heran sama Ana, kenapa dia memiliki semangat mengerjakan tugas yang berkobar-kobar, aneh kayak kesambet sesuatu. Nggak biasanya loh ini anak begini.

    Pagi harinya aku bangun, jam 7 pagi. Aku lihat Ana sudah tertidur nyenyak, aku yang melihat Ana tidur jadi iba, soalnya hasil kerjaannya aku lihat formatnya. Ingat loh ya, aku nggak nyontek, cuman lihat formatnya. Nggak lama Ana terbangun dari tidurnya, kami sudah sama-sama bangun cuman belum ada nyawa. 

    Dari kedua hape kami tiba-tiba ada notif, itu notif grup sintesis kimia, yang berisikan pengumuman bahwa hari itu dosennya nggak bisa masuk, jadi tugas dikumpulakan minggu depan, dalam bentuk PDF. "Ya Allah, tuh kan bener Na, firasatku ini mengatakan bapaknya nggak mungkin masuk" Ucapku dengan bangga akan intuisi yang aku miliki. "Kampret" balas Ana, "Aku ya Bung, ngelihat kamu semalam tidur kayak nggak berdosa, aku mau ikut tidur juga tapi takut nggak selesai, mana semalaman aku dengar kamu ngorok pula, nyenyak nya ni anak tidur" Ucap Ana dengan nada mewek. 

    "Hahahahahahaha, sakit perutku Na", Aku nggak bisa membalas kata-katanya Ana, aku cuman bisa tertawa, sesekali aku menyelipkan senyum pepsodent, saking senengnya. Bikin aku bahagia tuh gampang, dengan dengar Ana tesiksa aja aku dah senang. Kalau kata Ana "Bung, kamu itu kayak setan". Ana begitu dendam denganku, sampai-sampai dia sudah nggak pernah manggil aku dengan sebutan Bung lagi, kini dia memanggilku setan.

    Selain itu, bikin aku senang juga ada cara lainnya. Sewaktu aku kerja di apotekku yang dulu, btw for your information aja ni, aku udah nggak kerja lagi di apotekku yang dulu. Okay kita lanjut, nah ketika kerja di sana aku nemukan berbagai macam karakter orang beli obat, ada yang ngeselin, ada yang baik. Pernah di suatu hari yang kelabu, mood aku hancur banget karena sebelumnya ada pembeli yang semena-mena. Pembeli yang semena-mena tuh kayak apa sih? Yang kalau nguruh kita ambil obat pake jari telunjuk dan manggilnya "eh eh mba" lalu bentak-bentak pake nada tinggi karena lambat dilayani padahal apotek lagi rame-ramenya.

    Saking kelabunya, udah jadi mendung. Tiba-tiba ada ibu-ibu minta di cek-an tensi sama gula darahnya, sehabis cek, ibunya ngambil sesuatu dari keranjang jualan dia, ternyata kue tradisional, jajanan pasar. Selesai bayar, dia membawa kuenya ke arahku sambil berakata "Mba, ini kue buat mba", mood auto naik 100%, "Buat saya Bu?" tanyaku kegirangan, ibunya menjawab "Iya buat mbanya". Terharu. "Makasih banyak ya Bu". Tindakan baik seseorang ternyata se-ngefek ini loh buat orang lain.

   Cewek tuh gini, kita nggak perlu kado mahal, nggak usah ditawarin mau ini kah? Itu kah? Bukan nilai bendanya yang kita lihat, tapi ketulusan orang yang ngasih. Kesenangan itu didapatkan dari manusia-manusia yang memberi tanpa embel-embel. 

    Dulu, kalau ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang naik motor tapi lupa naikkan standarnya, dengan gesit aku langsung menyalip dan bilang "Pak, standarnya". Beuh sensasinya, kayak bakal masuk surga pake jalur orang dalam. Sepanjang jalan, nyengir aja. Makin dewasa, berbuat baik jadi lebih rumit, kalau dulu sesederhana itu, makin kesini tambah berdiagram. Kalau buat baik takut dimanfaatkan, kalau berbuat baik takut dikira penjilat, kalau berbuat baik takut dikira pencitraan. Kenapa dulu dunia rasanya berfilter, sekarang malah abu-abu.

    Aku sendiri pun berada di fase self heling untuk intropeksi diri, mencari makna sesungguhnya bahwa manusia itu makhluk yang sempurna, dibekali dengan yang namanya feeling, dikawal dengan yang namanya insting, dikuatkan dengan yang namanya intuisi. 

   Tapi lupa mengasah hati nurani. Setiap hari aku selalu berfikir, pernah nggak ya aku berbuat baik sama diri sendiri? Kita terlalu meributkan dalam tenangnya pikiran di dalam tubuh, sampai terlupa akan hak berbuat baik pada diri sendiri. Baik kepada orang lain itu perlu, tapi jangan lupa baik sama diri sendiri. 















Comments

Popular posts from this blog

Tempat Berlindung Di Hari Tua, Tempat Akhir Menutup Mata

Bicara Tentang Pengakuan

Rumah Sakit